Sabtu, 14 Agustus 2010

KU MELUKISMU DENGAN SAJAK


Aku melukismu dengan sajak
Dengan angin yang berhenbus dari utara 
Dan langit berpayung biru samudra

Aku melukismu dengan sajak
Dengan matahari yang bersinar lembut
Dan udara yang membelah rambut

Aku melukismu dengan sajak
Dengan senja yang tergelar jingga
Dan barisan camar putih beriringan

Aku melukismu dengan sajak
Dengan bulan cerah menangui malam
Dan bintang tumbuh didalamnya

Aku melukismu dengan sajak
Dengan tinta-tinta berwarna kebahagian
Dan pada kanvas putih kesucian

Aku melukismu dengan sajak
Dengan mimpi yang terkembang pada kanvas
Dan harapan pada pusatnya.

PERTEMUAN AKHIR MUSIM


Dipertemuan kau dan aku itu sayang,
Angin berhembus menerpa wajahku,
Dedaunan saling bersentuhan dan berbisik,
Tapi kita tetap diam tak terusik,

Dipertemuan kau dan aku itu sayang, 
Ada Angin bahagia dalam senyuman,
Dan  kurasa dedaunan tertawa iri,
Tapi ada mendung diwajah mungilmu,

Dipertemuan itu, kita saling membunuh diri 
Angin membunuh percakapan kita dengan sunyi,
Dan dedaunan saling tersenyum genit,
Tapi suara kita tetap jauh tersembunyi,

Dipertemuan itu,kita berpisah sayang,
Aku meninggalkan angin berlalu,
Dan dedaunan yang sinis melihat tawa kita yang tertahan,
Tapi aku bahagia ada secuil senyum diwajahmu.

Minggu, 01 Agustus 2010

Sejarah Mimpi

jangan datang dimimpiku malam ini,
karena ada badai tengah berkutbah disana,
aku takut kau berani melawannya ,
dan tertinggal disudut angin bermula,

jangan datang dimimpiku,
malam ini embun tangah beradu,
aku takut kau terlibat dengan mereka,
dan kau tertinggal disudut kerumunannya,

jangan datang dimimpiku,
karena aku begitu menginginkanmu,
aku takut bila aku tiba-tiba jatuh di wajahmu,
dan aku terikat pada mimpimu.

Mata yang Terbakar

-H R -
selamat siang , ada yang sedang terbakar di matamu , entah mungkin sepasang batu yang kau lemparkan pada seorang anak kemarin,
tunggu ada hujan menggantung di rambutmu , apa itu seperti fikiran yang membatu, jangan menyembunyikan hujan dalam senyuman,
lihat ada yang tertinggal di balik bibirmu , sepertinya itu janji yang pernah kau muntahkan,ku harap kau mampu menanti bunga tumbuh disitu,
berhenti ada pelangi menghitam di saku bajumu , aku tak mengerti kenapa kau meninggalkan februari di tengah terik matahari,pelangi-pelangi tak mungkin beranjak dari sakumu,
diam ada matahari membakar hatimu, mungkin ia tengah menangis , sebab hujan tak mengijinkan ia pulang,
maaf malam telah datang, aku mesti beranjak untuk pulang ,sampaikan salamku untuk anak kemarin sore itu

Sepasang malam

selamat siang sayang , aku ingin bercerita tentang malam yang hilang di balik awan,ketika wajah bulan menghiasi rona kepekatan yang tak berwujud sayang,dan kemarin sebatang lidi yang berserakan mengisahkan sepi bernama kawan,
Dimana kisah itu kemarin berserakan di bawah sebatang bunga , lalu pada layar monitor terpampang wajah malam, kuyu dan layu terlihat okehku malam terlihat murung tak bernyawa, sepertinya malam sedang mengandung duka,
malam pergi membawa sebait cerita yang tertinggal dari balik pekatnya, dan segudang kisah lain yang tak pernah aku mengerti, lalu awan sebagai bak seorang sutradara mengambil beribu amanat, lalu meyembunyikan cerita itu di balik kemilaunya
and cut

Wajah-Wajah yang tumbuh di matamu

dan angin menyapu wajahmu
menghilangkan bekas-bekas lelah masa lalu
aku menyelinap dibalik selimut kelabu
menentang air yang membunuh wajah-wajah baru

dan wajah-wajah mulai mengusik telinga
gambar birumu mengulang dibawah bayangan mata
sejenak kuraba memori otakku
wajah mentari tak berbusana menyapaku

dan semilir angin menjatuhkanku dari wajahmu
bayangmu semakin merasuk kemataku
wajahku kini yang tak berbusana
mentari tersenyum malu lalu tersenyum manja

dan hujan tumbuh ditubuhku-tubuhmu
wajah-wajah lelah tergambar dimatamu
hanya sekejap lalu kepeluk matamu yang sayu
nafasku berdoa saat wajah-wajah kita bersatu

dan mentari kini mulai mengantuk
sambil perlahan aku selimuti tubuhnya yang menggigil
lalu aku sudahi doaku hari ini
senja telah menurunkan mega-mega tak berbentuk

dalam sinar gelap

sekarang bulan belum bersinar
dan page enggan kembali
mawar masih layu dikepalaku
saat lilin dimataku meleleh

embun tak mumgkin bersinar
dan hanya bulan yang mampu
matahari hanya duduk melamun
saat televisi menayangkan iklan basi

selamat malam sayang
bumi tak lagi menangis karena gelap
sebab aku akan menjadi sinar hitam
dan menuntunmu menuju arah ku

Dari sebuah pagi

salam kepada pagi:
berjuntai aroma asing menusuk ulu hari
selayar kabut putih menawarkan basah embun
menetes melewati rongga dada dibumi
bersatu dalam irama asing yang menyusupi embun

angin masih menyapaku dengan lembut
lalu dari sela-sela fikiran tumbuh sebait sajak
mungkin hari ini akan melahirkan sebuah simposium maut
dan sejenak terpaku menatap bumi tak beranjak

sebuah drama tadi malam menyiratkan bunyi asing pagi
sebuah ketukan atau kutukan beraroma asing
menampar byanganku yang terdiam dalam kabut sunyi
lalu fikiranku menyajikan sebuah gambaran hari yang pusing

sajak tentang langitmu

di bawah langit:
setangkai bunga mawar tumbuh di buku, lalu mekar di mataku ,
dan tersenyum menyapa hujan di sore itu,menetes lalu berlalu.
harum dunia terlukis pada sebuah langit yang biru,lalu turun kebumi tergambar apik pada danau itu,disebuah buku aku menemukan lukisan langit tersenyum malu,lalu tergambar lekat diotakku yang kelu.
mawar hadir dibawah langitmu , bersenandung seribu doa pilu, .mengharap langit kan meneteskan hujan sore itu.
dan aku akan memperhatikan langkahmu , lewat celah dibawah tubuhku,dan menceritakan setangkai mawar yang mekar disore itu, lalu bumi menggambar tubuhku disela-sela danau biru.

Diam,Saat Kubaca sajakmu

untuk sepasang merpati itu:
aku terlahir ketika kepakmu terurai,lalu menjelma menjadi sebait puisi,
andai kau tahu di sudut ini,aku masih menatap langit yang sama sejak pertemuan kita yang terakhir kali
kini senyumu buyar ketika ombak mengayuhkan langkahku,langit terburu menutup matanya dan terunduk malu,tapi aku masih disini menungumu,menunggu kenangan masa lalumu.
Masih terbuka layar didepan mata,sepasang merpati cantik duduk bersanding bersama,tatap mata mereka melukiskan sebuah rindu membara,dan aku merasa iri pada mereka.

Pada Telaga

Aroma akar pinus masih berbau tajam
Disela-sela embun pagi yang menawan
Terlihat rembulan bergaris dahi tersenyum heran
Seorang lelaki berkaca muram pada telaga

Pada yang kesekian kali ranting itupun terjatuh lunglai
Lingkaran air menyebar memecah siluet wajah lelaki
Ia masih tak bergeming meski gema subuh telah sayup-sayup mengudara
Sudah hamper kiamat malam itu
Sudah hampir tak terteteskan air dikelopak matanya

Remubulan semakin sayu dan tampak semakin pucat
Semakin bergantinya hari semakin pucat
Namun ia heran dan semakin heran
Lelaki berwajah bening itu hilang bagai tertelan

Kini tak ada ranting yang berjatuhan
Semua menahan diri agar tak jatuh tertiup angin musiman
Telaga hanya berisi jerit tangis bisu
Tak seberapa saat sebuah tubuh kaku dan layu
Terbujur mengambang dalam telaga rindu

Lelaki Ketika rembulan ini

Masih teronggok malu pada sebuah cerita dan puisi
Tentang rembulan patah hati dan bintang sakit hati
Selaksa bumi hanya hamparan permadani
Yang mengisahkan perempuan dan laki-laki

Ingatalah matahari ungu telah terbit kemarin senja
Maka dengan setitik rasa yang terbuang bersama sauh
Aku kembangkan siluet kenangan masa lalu yang hitam
Tak mampu lagi aku jelaskan dengan jelas kepadamu sayang
Bukankah nila itu telah bercampur susu mudamu
Hingga noda tak lagi setitik tapi sudah sebelanga

Kemarin kau tanya tantang rembulan patah hati
Kini,kau telah berkhutbah pada kumbang bahwa
Kau telah membuat rembulan patah hati
Sungguh dalil picisan kuno pada
Senggok tubuh molekmu yang menawan

Kini hanya pada seorang lelaki
Rembulan bercerita entang sedu-sedan
Tentang perempuan bermanis kisah pada senja kelam

Pada sebuah dawai(Biola Tak Berdawai)

Denting dawai mengiringi langkahku
Menuju bukit penghapusan itu
Kini ditempat itu telah tumbuh berbagi bunga baru
Banyak jenis bunga ada yang merah ada yang ungu
Semua ikut berdendang dalam iringan sebuah lagu
Berdansa dan menari tanpa berfikir hati yang kelu
Lupakan kesah dan susah pada rembulan bulan lalu

Denting dawai mengiringi langkahmu
Menyusuri jalan terakhir hidupmu
Hidup kumbang disela-sela bunga baru
Banyak fikiran berkecamuk dalam hatimu
Tak menghirau dendang dalam lantunan lagu merdu
Hanya merintih merasa pada beribu hati yang kelu
Tak akan terlupa semua rasa gelisah pada separo rembulan itu

Denting dawai mengiringi langkahnya
Melintasi jagat semesta indah raya
Menikmati berbagai bunga baru elok rupa
Berfikir hidup berkeseimbang jiwa dan raga
Terdengar deru para bunga berdendang mesra
Tak akan ada merasa hati itu pernah terluka
Menjadi diam tak akan dilupa pada awal rembulan sempurna

Denting dawai mengiring laangkah kita
Mengikuti alunan lagu yang mempesona
Lagu tentang bunga-bunga baru elok rupanya
Tentang bunga berwarna ungu dan merah muda
Semua itu berdendang dalam irama satu.,dua ,tiga
Berdansa mesra sambil mencumbu kumbang bunga
Dan ini tak akan lupa meski rembulan tak pernah ada

Membunuh Kematian

Tak ada yang aku harap kecuali kamu mati
Tak dapat kau tawar lagi
Dengan mimpi-mimpimu ,teknologi,televisi,
Dan untaian kata pelipiur laramu yang sok suci

Aku hanya ingin kau mati
Mati dalam kasakitan
Seperti kesakitan yang kau beri pada hati
Mati sambil mengiris hatimu sendiri

Tak akan aku beri pilihan lagi
Hanya satu kata mati
Segeralah kau lakukan saja ini
Mati apa susahnya dasar banci

Cukup! Baiklah…
Aku putuskan dalam senja ini
Bahwa aku akan mati
Dalam mimpiku
Mati seperti harapan moyangku
Dalam belas walau tanpa almighty kehidupan
Kucoba untuk mati dan hanya mati

Buku-buku Menangis II

"Apa aku bersalah tuan?Katamu"

Sungguh itupun aku tak pernah tahu
Buku-buku hanya terdian dan tertunduk
semakin terunduk ketika kau hanya merajuk
Buku yang tersusun bersistematika abjad kuno semakin merajuk

Kulihat merah padam mukanya ketika
seorang gadis kecil hanya merobek-robek halamanya
Tetes serpihan kertas itu kini
seperti menahan jerit pada hati yang tersakiti

Buku-buku selalu merasa bersalah
ketika berhadap pada sebuah palu
karena keadilan hanya milik mereka
Tangan-tangan kekar pemegang palu

Buku hanya terdiam tersusun bersistematika abjad kuno menangis pilu
Buku-buku itu bergelayut malu pada diri
Yang terpajang pada kotak kayu

Buku-buku Menangis I

Kini hanya berbaris rapi pada kotak itu
Hanya bersistematika abjad kuno yang di tiru
Tak terjamah bahkan tak terlihat mta itu
Hanya terduduk rapi pada tempatnya bersama debu

Lihat nereka saling bercengkrama
pada berlusin teman lainnya
Entah isu apa aku tak mampu mendengarnya
Hanya pergolakan fiksi dan non fiksi lama

kian hari kian terbuang
Hanya selusin manusia mau mendengar
Buku pada kotak kayu yang gusar
pada gedung perpustakaan yang lapar
haus pada nurani para pembaca yang terkapar

Ah,televisi itu lebih munafik
ia berdusta sini dan situ tanpa rasa tercekik
kau dan atau dia bahkan mereka lebih tenang ketika
Melihat daripada membaca
Sungguh Teknologi yang memberi mimpi terlaly pagi pada dunia

Hai lihatlah!
buku-buku kini menangis
Merintih pada generasimu yang kian menangis
Hingga generasi nantipun ikit menangis
Bahkan tak ada generasi yang tak menangis

Perempuan pasung II

Teriakan itu seperti mengisyaratkan kelegaan hatinya
Sesorang perempuan mungil keluar dari gua garba
Tangis nya seperti hendak mengalahkan teriakan tadi
Berlumur darah ia bermandi

Ribut dari luar kamar tempat aku menangis tadi kian jelas terdengar
“bayi itu harus di buang dia Zina”
Suara itu hanya terdengar seperti lagu bagiku yang baru saja memndang dunia
Belum sempat aku berhenti bergembira tangan kasar itu merenggutku

Aku masih tak begitu sadar waktu itu yang ku ingat hanya teriakan perempuan yang tadi berteriak
Aku pun juga hanya berteriak lalu suara itu lenyap dari telingaku

Bau busuk hinggap disekitarku
Aku tengah bergulat melawan maut yang mengajak kembali ke dunia asalku
Sebelum sebuah tangan lembut itu menimangku dan menghentikan pergulatanku

Beberapa musim telah kulalui dan akupun baru mengetahui hal ini sendiri
Tangan lembut yang membelaiku bukan ibuku
Lalu dimana ibuku?


12 November 2009

Perempuan pasung I

Dia terduduk sambil memeluk lututnya
Tangis berderai menganak sungai pada pipi
Seperti tertelungkup dan menyepi
Menahan sakit dalam dirinya

Sepasang mata tak lagi ku kenali
Hanya linangan yang tergoyahkan angin
Pada semusim gugur yang baru mengalir

Pada langit ia menengadah sepeti hendak meminta
Namun seulas senyum masih saja ku lihat
Terpancar nanar dari bibir bekunya

Ia memandangku seakan aku anaknya
Meronta seperti hendak memeluk tubuhku
Namun aku menjauh hendak menghindar dari tubuh letihnya yang membusuk
Ia lelah balutan pasung terlilit pada kakinya yang kecil

Lagi kuamati wajahnya wajah yang ternyata amat terlalu cantik
Secantik wajah ku yang selalu ku pandang pada pagi nan merdu
Wajahnya membiaskan wajahku pada waktu yang nanti
Namun tak ku hirau benarkah perempuan pasung ini ibuku




12 November 2009

Saat aku terduduk

Masih aku terduduk menunggumu
Sambil mengoreksi mimpi subuhku
Dalam balutan sinar kuning itu
Berdampingan dengan nyanyi burung biru

Aku hanya terduduk menikmati pagi kuning
Lewat secangkir kopi hitam tapi murni
Mengamati polah anak gunung dalam bianglala
Berteriak memecah pagi

Dan saat aku terduduk
Kilau membiaskan rintik gerimis pertama musim penghujan
Dalam spectrum warna-warni kehidupan
memberikan pesona pagi yang terlupakan

Dan aku terduduk termangu
Menghadirkan bayangmu dalam kitap hidupku
Menghidupkan pagi-pagiku sampai waktu
Dan memberikan hidup untuk menikmatiku

Menikmati kehidupan itu bersama kita
Lalu kita lupakan duduk itu sendiri
Kita akan berlari dan terlupa bahwa kita baru terduduk
Berlari dalam hari-hari saat aku bersamamu

Dan Kita hanya akan kembali terduduk
Sambil menikmati polah anak gunung itu dari sebuah kursi goyang
Dan takkan mampu lagi aku menimati sinar kuning
Yang memberi kehidupan


12 November 2009

Kenangan

berjalan dipadang jalan
sembari mencari sisa perjalanan
yang terlukis pada kanvas tua nan berdebu

saat lolongnya membahana dalam riak gelombang
seberkas kisah kini nampak dalam gelapnya
aku menghitung kenangan itu sendiri dan hanya sendiri

dulu aku adalah setetes embun
menyejukan rerumputan pagi
saat musim semi tumbuh dalam hati berbunga mimpi

kini hanya seberkas perjalanan kita yang terpenggal
menjadi biru dan membisu
tapi ingatlah dulu kita satu
seperjalan

sang pemimpi

Biarkan aku menikmati senja ini dengan secangkir penyesalan pada siang
sembari menanti kabar burung hantu
akan kukunyah roti mungil buatan emaku
Jangan kau ganggu aku yang tengah meramal pemikiranku
berilah kesempatan diri untuk berhibernasi agar mulai menyegarkan

biarkan aku menghabiskan kopi ini sembari menghitung helaan nafas ku
walaupun sejangkal demi sejengkal nafas ini kan habis tanpa aku menyadari
pencipta telah memberi kita arah dan tujuan dari perjalan sunyi yang berkelok-kelok ini
tinggal kita menjalani roda ini agar mengarah pada tujuan rumit hidup kita

kini kopi ini tinggal sepah tak berguna
tinggal menunggu terbuang oleh emaku
nanti ketika aku menutup mataku emaku akan menjejaliku dengan dongeng
putera muda yang terluka pada senja hari
maka dengan sisa pemikiran nan rumit ini aku mencoba terlelap

Bait-bait yang Hilang

kini tinggal aku sendiri mengisi bejana rindu dalam malam
telah lelah sebuah perjalanan merah,mendaki mengumpulkan kembali bait-bait suci yang tercecer
bait demi bait perjalanan malam menghiasi kebimbangan
bait tentang kisaah pangeran buruk ruoa penghias cerita para pujangga

kini hanya sendiri kembali mengumpulkan potongan mozaik puisi patah hati
demi sebuah perjalanan pengganti bait puisi itu aku terus memutar roda nasib
bait demi bait mulai beremunculan dalam imajinasi kering
bait tentang seorang petarung yang pulang keperaduan ketika perang usai

kini akupun sendiri mengisi bait-bait keimanan dalam diri
demi ketika bait itu tinggal kenangan yang hilang dari ingatan
bait demi bait yang mengisahkan masa laluku yang telah bermunculan dalam nyata
bait tentang mimpi pemutar kata yang menyepi mencari potongan bait puisinya

kini aku mencari bait yang hilang itu dalam temaram malam
mengumpulkan bukti nyata pencuri kisah
demi sebuah bait keutuhan puisi
bait tentang pengelana puisi yang tercecer dalam malam

Arjuna -Karna

Dengan semilir sepi terdendang suasana sunyi
pekuburan hati meraungkan kesesatan pikiran
awan hitam membolakan kisah pencakar malam membaur bersama rasa hitam

Arjuna pengembara sepi berlari pincang
menggambarkan kidung tua pelantun sukma
pewayangan bumi astina memudar tajam
Karna bersilat pinggang memasang antara
melarikan harga diri yang tengah bergoyang
lewat gendewa suci resi binawang

tetes darah pengntar senum bumi
putra kunhi tertidur lelap mendamba nirwana
lewat pemanah suci putra dewa indra bersemayam dalm jiwa

prahara suci terbenam dalam cakrawala
putra Astina menangis pilu meronta maut
Neraka menghujam didepan pandangan
batas pemikiran telah hanyut bersama linangannya
putra pandu menangis sendu tanya gairah
Nirwana meradang dalm pandangan
dewa bersorak dalam hati tanpa raga

Batas Umur

Siang ini aku menggigil kedinginan
memasukkan diri dalam ruang setan entah matahari telah lelah menyinari jalan
atau karena dewa kutub bertamsya keliling malam

Aku masih tetap menggigil memilirkan otak yang berurai tangis
gumpalan helium berubah hidrogen diri
rasa tercekik sepasang mata mulai menghantui
Izroil seperti bayang-bayang hitam pembawa sabit sakti

Putra sang fajar masih bergumul dalam sprei tua
tak diraba kemilau burung gereja mematuk pipi pendeta
limpangan suhu kian meradang bak helium mengudara hidrogen mimpi

Senandung kebimbangan berteriak riang dalam ingatan
menitik batas penggaris umur

Memasak Puisi

lempuyang musim gugur hanya akan berasa pahit
Ulat sagu duduk menyantap kopi
berisik jangkrik pembaca koran subuh
tupai lincah menangis riang dengan lolipop

putri malu penawar ilusi
pucat pasi menatap pagi
kepul asap penyempurna pagi
membumbung tinggi membuang mimpi

secukup bumbu ketumbar halusinasi
bersama sekawan daging keimanan
seikat sayur keindahan
kupikir semeyap ingatan meronta membakar mimpi
dalm secangkir penggorengan

Parodi mimpi

Bumi menangis tergelepar tak berdaya
Sesosok cerita hadir mengisi telaga
Tuan tanah tersenyum riang tak bersua
Pengamen kecil menatap murung tak bernyawa

Dari sela-sela penggilingan padi
Aku mengintip cerita sunyi tuan kepalang tandang
Meriuh pendongeng melelap tidur
mendayu-dayu memancar telaga

masih terkenang mimpiku semalam
Sepasang mata duduk bersama salin bercengkrama
Menetes air mata membasahi tepi telaga
Mengusir patin yang tengah mencari muda

Sebiji mimpi pengantar ilusi
ilusi pembual pencipta puisi
puisi mimpi tradisi negri para dewi
seperti dewi pembual dalam ikatan suci

Setengah berlari aku mencoba pergi
Mengutara segena isi hati pada pagi
Hanya fajar menyingsing penjawap teka-teki
Mengudara membaur helium murni

SepasangMata

Sepasang mata telah terlahir didunia fana sembari menangis aku mengulum lolipop
mataku adalah siang mengamati mimpi-mimpi dini ayahku
sambil tetap mengulum aku bercengkrama dengan mata ku
kulampiaskan segala warna dihadapan

Sepasang mata itu memandang awan sambil tetap menangis
sebutir uap turun menderasi tubuh beku
mataku menggil ketakutan akan mati

sepasang mata itu kan kujadikan saksi jika kembali harus berlibur pulang ke hadirat
bagimana akupun hanya sepasang mata milikmu yang kau gunakan dalam lelap sinarmu

tak ku biarkan sepasang mata hanya mampu menunduk
kan ku tegakkan panji mata terakhirku untukmu
selamat malam mata

Melukis

Ingin aku melukis pagi diwajahmu
Memancarkan pendar sang fajar dari ubun-ubun kepalamu
meneteskan embun murni dari sela-sela matamu dan
mengahurukan kicau burung dari mungilnya mulut merekahmu

Ingin aku melukis senja di tubuhmu
memancarkan pendar mega-mega tua dari balik bahumu
meniupkan angin murni dari sela-sela tubuh wangimu dan
meriuhkan kelepak dedaunan dari ranumnya tubuh merekahmu

Ingin aku terbawa dan mati bersama untaian kata
yang tertulis dari sebuah puisi tua tak bermakna

biarlah aku simpan saja lukisan dirimu dalam kotornya otak mungilku

Parodi senja hari

Meramal arti senja
Bak merumuskan matematik disetiap kelakar warna orange
Semua begitu merdu mengalun
Memudarkan kilatan cahaya yang terlukis tadi siang

Aku masih ingat dikala senja itu
Kita bersama bagai sepasang awan bunga yang beriringan diangkasa nan merdu
menceritakan unga kala bernyanyi
Rembulan kala menyisiri malam
Mentari kala berbiji mimpi
Dan tak lupa pula kita bercerita tentang senja

Senja di bukit penghapusan
Tempat dimana kasih bak setetes madu
ketika ku ceceap egitu manis
Indahnya hati kala berbunga bakung
Hidup bagai lintasan roda bergotri mungil
begitu mudah meluncurkan hidup saat senja

Saat senja itu pula kau tikamkan pisau lidah tak bertulang
mengoyak dan merobek hatiku yang tengah berbiji mimpi
Sungguh senja iruni bagi sepasang awan kelakar yang terbang beriringan
mengejeku , menertawaiku terpingkal-pingkal hingga kelua tangis hujan dari matanya

senja jika aku mampu ingin aku menghapus cerita tentang dirimu dari sela-sela biji mimpiku

Sebilah Mimpi

kurun hujan tak sebilah pedang kasih
hanya goresan lukisan tua yang kosong tak berinti
masih aku memuja karang tepi Tuhan yang masih kokoh berpijak
tak bisa aku menghenti waktu yang ompong

sebilah pedang itu hitam kasih
lalu mengudara bagai ledakan hidrogen musim semi yang hangus
berpendar bak lilitan listrik hijau serasi dengan warna pedangku

kini semua hanya mimpi kasih
mimpi tentang mimpi yang selalu kuimpi-impi dalam lelapnya alam mimpiku
dan saat mimpi itu tak lagi berhias mimpi
maka mimpi bak kumpulan ozon yang membaur dalam atmosfir mimpi

kasih sebilah pedang tak dapat menjadi uang
hanya pengharapan akan kekosongan hati
yang sembilu terhempas ombak mimpi

Aku Televisi

kau masih mencintai televisi itu dari pada sabun mandi sayang teknologi itu iblis sayang aku sudah muak dengan buku itu sayang berikan aku secuil mimpi itu lagi sayang mimipi dimana kita mencubui televisi itu
sudah kubilang televisi itu iblis,masih saja kau menghamba pada teknologi,Bukankah lebih baik bagimu secuil daging busuk itu yang jauh lebih wangi daripada wangi kasturi atau mawar yang tumbuh dipadang mahsyar.

Masih Seperti Dulu

aku sapu tangan milik neneku yang sudah kumal maka untuk saat senja ini aku masih dapat menjadi sekumal milik si sabun mandi itu

Sajak Ungu

Aku ingin pergi dari lembah hatimu yang kini busuk dan membuang mimpi ungu yang telah memudar itu lalu aku jadikan wasiat manisku untukmu, aku pinta jangan sekali kau menghapus wine ungu dibibir merekah itu lagi, karana pasti disuatu saat itu aku akan mencecapnya lagi di bibirmu, pasti sungguh kita akan mengulang lagi permainan teatrikal lidah kita yang ungu dan kita akan tetap saja membusuk dan menjadi ungu.