Jumat, 21 Januari 2011

Malam Untuk Malaikat


Aku menulis sajak ini sambil menggambar malam,
Karena aku terlalu takut ,
Menggambar kata didinginmu yang terantuk beku,
Ketika tubuhmu terjatuh di keheningan ,
Dan mandi dengan buku-buku aneh,

Ini lembar terakhir yang kacau,
Sampul didepan mata terncam memudar dan berganti kulit,
Lalu terbang ketengah belantara hitam,
Aku masih diam, dan tubuhku terancam terbakar debu,
Jika lembar-lembar embun ini,
Berubah menjadi symfoni malam

Ini lelahku tumpah pada wajah malam,
Dan goresan hitam kan kuletakkan di hening ,
Kata-kataku membeku pada buku aneh itu.  

Sebuah Cinta Disekolah


Ta,
Tidurlah di pelupuk mataku ,
Aku akan membawa mimpi manis untukmu,
Lelapkan bahu itu di pelabuhan dadaku ,
Nyanyikan lingkaran mataku yang membiru,

Ta,
Jangan mengeja huruf disakuku,
Itu hanya doaku yang tersangkut oleh ranting mimpi,
Ia sering singgah disitu sambil mengeja namamu,

Ta,
Sekarang gerimis datang menjemput mimpimu,
Bangunlah tepati janjimu yang terbakar waktu,
Bawalah juga orisku yang bergambar matahari,
Untuk saksi di perapian malammu,

Kujawab , Janjiku Yang Parau.


-Hendrawan-

Jangan tanya aku tentang puisi,
Tanyalah tentang hujan yang berderai di kelopak mata,
Atau sinar yang jatuh di tepian kabut pagi,

Aku takkan mengerti puisi,
Meski kau menyuguhkan rimba malam yang berair parau,
Atau Gemintang hutan yang berwarna-warni disisihan sungai mati,

Tanyakan aku tentang angka-angka,
Yang berbaris dan berderet  di tepian jalan ,
Aku akan menjawab itu dengan melepaskan iris dimataku,

Berhentilah bertanya tentang puisi padaku’
Karena akan ku jawab dengan goresan angka-angka,
Sebagai secuil penasaranmu yang gerimis.

Selasa, 04 Januari 2011

Menunggu Pada Jalan Sunyi

Masih Jalan menikung ku daki
Aku tak tahu arah mana yang ku tuju
Mungkin jalan tak pernah memberi jawaban
Atau rambu-rambu hanya sebuah perhiasan

Jangan mengandung bau jalan raya yang berasap
karena ditepi sudutnya menggantung kenangan
jangan mengambil dunia ditanganku
karena aku hanya menunggu perjalananku berlalu

Aku asap dan debu disela-sela trotoar
yang membawa kabar bernama rindu untukmu
kau tak mau mengertikah tentangku?

bila bus-bus itu,tak lekas mulai berjalan
Aku kan menggantung wajahku dimuka kacanya
Dan lintasan doa-doa melintas ditelingaku
terbakar di udara yang membisu beku

kau tahu ini jalan yang sama yang kita daki
ketika serdadu-serdadu bernama hujan
menembakikan longsongan peluru panas
yang baru saja ditanak oleh para ibu diperapian

mataku menggantung ketepian jalan
dan raut wajahmu menggaris tajam
seperti petir yang baru saja menghentakkan genderangnya
membahana menghantam tiang-tiang beku

tubuhku terdiam,membatu dipersinggungan
pada jendela kaca berwarna matamu
aku berkata ini rindu terakhirku untukmu
:serdadu bernyanyi dimata beku

ketika para serdadu telah lelah menembaki waktu
kau akan mendengar mereka mereka terengah payah
peluru mereka berakhir ditubuh para pejalan
ditepi trotoar asing itu.

maka rinai bocah-bocah yang sedari tadi terdiam
terlelap dibalik mendung
akan berteriak riang mengambil matahari
untuk mereka tendang ketengah jalan menikung

ini detak nafas terakhir untukmu
sesuatu yang bernama rindu
telah melayang bersama deru mesin bus kota
yang akan membawa wajahku pulang